Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2020, Alternatif Solusi KLHK untuk Pengelolaan Limbah B3 Spent Bleaching Earth

Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu (23/06/2020) menyelenggarakan Webinar “Best Practise Pengelolaan Limbah B3 Spent Bleaching Earth (SBE)”. Webinar ini diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3), KLHK, Rosa Vivien Ratnawati dalam pidatonya menyatakan bahwa, Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan limbah padat B3 hasil proses penyulingan minyak sawit pada industri minyak goreng atau oleochemical.

Dari hasil penelitian, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit menghasilkan 600 ribu ton limbah SBE. Peningkatan jumlah industri minyak nabati berdampak peningkatan jumlah limbah SBE sehingga akan menjadi masalah jika tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik.

Vivien menerangkan lebih lanjut, data Aplikasi Pelaporan Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK (SIRAJA) mencatat timbulan limbah SBE yang dihasilkan selama 3 (tiga) tahun terakhir terus meningkat. Tahun 2017 sebesar 184.162 ton, tahun 2018 meningkat sebanyak 637.475 ton serta tahun 2019 sejumlah 778.894 ton.

Vivien menyayangkan bahwa jumlah timbulan limbah SBE tidak sebanding dengan jumlah perusahaan pengelola SBE berizin, yang saat ini berjumlah 11 perusahaan dengan kapasitas total 116 ribu ton per tahun. “Gap antara limbah yang dihasilkan dengan limbah yang dimanfaatkan menyebabkan banyak SBE dibuang ilegal antara lain secara open dumping sebagai media urug”, terang Vivien.

Kabar baik dari KLHK, SBE sebagai Limbah B3 Sumber Spesifik Khusus, termasuk ke dalam 4 limbah B3 tertentu (SBE <3%, Fly ash, slag nikel, steel slag). Keempat limbah B3 tertentu di atas termasuk dalam kategori yang dipersingkat prosedur pengajuan pengecualian limbah B3. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3 yang baru diundangkan tanggal 4 Mei 2020.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, Ahmad Gunawan Wicaksono menjelaskan bahwa peraturan terbaru ini meliputi pengaturan tentang Tim Ahli Limbah B3, Uji karakteristik limbah B3 untuk pengecualian dan penetapan status limbah B3, penetapan limbah B3 sebagai produk samping serta pemantauan dan pelaporan.

SBE sebagai limbah B3 sebenarnya masih memiliki berbagai manfaat. Dalam paparannya, Guru Besar Bidang Pengelolaan Limbah Agroindiustri Universitas Lampung, Prof. Udin Hasanudin memaparkan berbagai penelitian pada jurnal internasional upaya pemanfaatan limbah SBE dalam skala laboratorium.

Paparan selanjutnya adalah best practice pemanfaatan SBE yang telah dilakukan dunia usaha, contohnya di Malaysia oleh EcoOils dan di Indonesia oleh grup Wilmar. Chief Operating Officer EcoOils, Hajjah Siti Nor Hachimah Hj. Mohd Aras, menyampaikan Zero Waste Concept dengan produk Spent Bleaching Earth Oil (SBEO) dan Eco-Processed Pozzolan (EPP). Sedangkan Ramdhani yang mewakili Wilmar Group menyampaikan implementasi pengelolaan limbah SBE, serta upaya melakukan penelitian terkait dengan pemanfaatan SBE sebagai media tanam.

Sebagai penutup, Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 KLHK, Sinta Saptarina Soemiarno menyimpulkan, melalui pendekatan model Circular Economy, pemanfaatan SBE dapat memberi kontribusi positif 4P : People, Planet, Profit, Prosperity bagi perusahaan, lingkungan, SDM serta masyarakat umum.

Sinta melanjutkan, pengelolaan limbah B3 tidak lagi hanya insinerasi dan landfill, namun pemanfaatan limbah SBE bernilai ekonomis seperti Bleaching Earth baru, produksi biodiesel serta berbaai potensi sebagai media tanam, katalis, briket dan sebagainya. Peluang pemanfaatan SBE semakin menemukan titik cerah dengan terbitnya Permen LHK 10 tahun 2020 yang mengatur uji karakteristik dan penetapan limbah.

“Kolaborasi semua pihak baik dunia usaha, perguruan tinggi, pemerintah perlu terus dilakukan seiring dengan pesatnya pembangunan, bertambahnya jumlah penduduk serta perkembangan teknologi. Kajian ilmiah perlu terus dilakukan sebagai bagian dari upaya keselarasan pertumbuhan industri dengan pelestarian lingkungan”, tutup Sinta.(*)

 

 

 

Sumber : http://ppid.menlhk.go.id/

 

Share info ini