Hutan Aceh Berpotensi Percepat Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

BANDA ACEH – Indonesia merupakan negara yang memiliki 17 ribu lebih pulau, serta perairan yang begitu luas juga memiliki hutan tropis terbesar. Namun demikian, sangat rentan terhadap perubahan iklim, dimana banyak dampak yang muncul akibat aktivitas masyarakat sehari-hari yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Sementara itu, 23 persen tutupan hutan Aceh hari ini merupakan yang terbaik di Sumatera. Sehingga 3,1 juta hektare diantaranya memiliki potensi stok karbon.

Sehingga, menjadikan hutan Aceh paling besar dan berpotensi. Bahkan, pemerintah merencanakan untuk melakukan peningkatan kapasitas tim percepatan penurunan emisi gas rumah kaca di Aceh.

Sekretariat Direktorat Jenderal (Setditjen) Pengendalian Perubahan Iklim, Agus Rusly mengatakan, Indonesia berkomitmen melakukan penurunan emisi gas rumah kaca, pada 2016 telah mengajukan national determined Contribution, dimana berkomitmen menurunkan sebesar 26 dan 29 persen emisi.

“Kemudian komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan dari 29 persen dari kekuatan sendiri, dan 41 persen dari kerjasama atau bantuan internasional,” katanya dalam kegiatan workshop penguatan kapasitas tim percepatan penurunan emisi gas rumah kaca di Aceh, Senin (21/11).

Lanjutnya, pada September lalu pihaknya memperkuat komitmen penurunan emisi gas rumah kaca yang mulanya 29 persen menjadi 31,89 persen, dan 43 persen bantuan nasional.

“Karena semua akan berpengaruh dan terkena dampak perubahan iklim, sehingga semua negara bersepakat untuk mengurangi emisi dan gas rumah kaca, tentunya kondisi dan situasi itu sehingga masing-masing harus mengoptimalkan untuk pengurangan di negara masing-masing” tuturnya.

Dengan mengeluarkan long term strategi di 2050 mendatang, yang mana 2060 nanti diperkirakan Indonesia akan menjadi negara dengan zero emisi.

“Indonesia menargetkan banyak hal untuk melakukan pengurangan emisi dan peningkatan komitmen lintas kawasan gambut dan non gambut,” ujarnya.

Zero emisi, tambahnya, seolah-olah diartikan tidak memilikinya, namun pemahamannya adalah tetap menyediakan namun dalam lingkup yang kecil.

“Emisi akan tetap ada, tetapi langsung bisa diserap melalui berbagai sektor yang melakukan penyerapan seperti sektor kehutanan,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) Aceh, Hanan memaparkan, bahwa 3,5 juta hektar lebih luas Kawasan hutan dibandingkan daratan, hutan konservasi terdiri dari hutan lindung dan tropis, kewenangan pengelolaannya diamanahkan ke pemerintah daerah dalam hal ini bahwasanya 2,5 juta hektar hutan Aceh.

“Laju deforestasi 1114 hektare di Aceh berdasarkan data kementerian di tahun 2020 jauh lebih berkurang. Jika terjadi bencana tidak semata-mata dikarenakan illegal logging, ketika melakukan penyisiran banyak kebun-kebun masyarakat juga memasuki kawasan hutan,” ucapnya.

Lanjutnya, Aceh memiliki lahan gambut 336 ribu hektare, itu menjadi persoalan saat ini, karena sering sekali menjadi sumber terjadinya pelanggaran hutan dan lahan.

“Gambut tidak semua dikawasan hutan, tetapi 246 ribu hektare berada di Area Penggunaan Lain (APL), artinya ada budaya dikembangkan masyarakat, sehingga kebakaran hutan dan lahan sering terjadi di daerah gambut,” imbuhnya.[]

 


Sumber : https://www.ajnn.net/

Share info ini