Banda Aceh – Intensitas konflik Gajah liar dan Masyarakat di Aceh berdasarkan data BKSDA Tahun 2020 adalah 111 kali.
Kegiatan penanganan yang dilaksanakan di lapangan dilakukan oleh unit mitigasi konflik satwa liar/CRU (Consevation Response Unit) yang berjumlah 7 (unit), meliputi: CRU Mila di Pidie, CRU Peusangan di Bener Meriah, CRU Sampoinet di Aceh Jaya, CRU Woyla Timur di Aceh Barat, CRU Cot Girek di Aceh Utara, CRU Serbajadi di Aceh Timur dan CRU Trumon di Aceh Selatan. Operasional CRU dimaksud melalui dukungan Pemerintah Aceh melalui DLHK Aceh, BKSDA dan Mitra CSO Konservasi di Aceh. Penanganan yang dilakukan melalui tindakan respon cepat terhadap konflik yang terjadi maupun kegiatan mitigasi melalui patroli rutin.
Upaya pencegahan konflik Gajah di Aceh yang telah dilakukan adalah melalui pembuatan Barrier berupa Parit dan Power Fancing (kawat kejut) sejak tahun 2018 dengan total sepanjang  17 Km Parit dengan rincian: 14 Km di Kabupaten Bener Meriah dari sumber dana APBK dan 3 Km di Kabupaten Aceh Timur dengan pendanaan Mitra Konservasi (FKL).
Untuk Power Fancing yang telah dilakukan pemasangan adalah sepanjang 2 Km di Kabupaten Pidie melalui fasilitasi (FFI) dan saat ini sedang dilakukan pemasangan sepanjang 10 Km di Kabupaten Bener Meriah melalui pendanaan Kementerian LHK.
Dalam waktu dekat juga sedang dipersiapkan kegiatan Penggiringan Gajah di Kabupaten Bener Meriah khususnya Kecamatan Pintu Rime Gayo tanggal 20 Februari 2021, dilanjutkan dengan pemasangan Power Fancing untuk menghidari Gajah liar kembali ke wilayah Budidaya Masyarakat.
Kegiatan Barrier tetap dilanjutkan melalui dukungan para pihak, direncanakan akan dilakukan penambahan Power Fancing sepanjang 13 Km di Kabupaten Pidie melalui dukungan alokasi Dana Desa dan mitra konservasi, 17 Km di Kabupaten Aceh Timur melalui Mitra Konservasi dan swadaya masyarakat serta sepanjan 20 Km di Kabupaten Bener Meriah melalui pendanaan TFCA CRU Aceh dan Kementerian LHK.
Pembuatan Barrier diprioritaskan pada lokus wilayah dengan mempertimbangkan efektifitas serta efisiensi penanganan secara lebih komprehensif berdasakan kajian dan analisis pakar, praktisi serta melalui proses koordinasi para pihak terkait.
Penanganan jangka panjang dilakukan melalui pendekatan penyesuaian komoditi dengan jenis tanaman yang tidak disukai satwa liar khususnya pada wilayah rawan konflik dengan jenis tanaman seperti: jeruk nipis, jeruk lemon, pala, kemiri, dan kopi.
Sebagai upaya antisipasi juga direncanakan akan dilakukan pemasangan GPS Collar pada kelompok Gajah liar yang terindikasi sering berkonflik dengan masyarakat, dalam upaya membangun sistem peringatan dini.
Penanganan konflik satwa liar yang komfrehensif tersebut juga memiliki potensi menjadi objek daya tarik wisata berbasis edukasi dan konservasi. Saat ini Rencana pengembangan wisata alam tersebut telah diinisiasi oleh Pemkab Pidie dan Pemkab Bener Meriah.
Dalam rangka mempersiapkan kapasitas masyarakat untuk melakukan mitigasi konflik satwa liar juga dilakukan kegiatan pembentukan kelompok Masyarakat Peduli Konflik Gajah (MPKG) melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh BKSDA, DLHK Aceh dan CRU serta Mitra Konservasi terutama pada wilayah-wilayah yang memiliki intensitas konflik tinggi di Aceh.[dhi]
Sumber : Bidang PKSDA DLHK Aceh